JAKARTA, fiskusmagnews.com- Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh.
Tax Accounting Equation (TAE) yang ditulis Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono menyatakan bahwa Pendapatan (Revenues) berbanding terbalik atau mempunyai hubungan terbalik dengan Utang (Liabilities). Ditemukan beberapa kasus membuktikan urgensi Purpose Business Test, Business purpose test adalah kriteria yang kerap digunakan untuk menentukan apakah sebuah transaksi harus dicegah dengan tindakan anti-avoidance atau tidak (Glabush, 2015). GAAR berfokus pada substansi transaksi yang relevan dengan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance over form) atas skema transaksi utang.
Jika bisa dibuktikan bahwa skema transaksi utang ini terbukti tidak mempunyai tujuan bisnis, maka bisa dipastikan bahwa skema utang ini dibuat hanya untuk menghindari atau menggelapkan pajak yang nantinya objek pajak ini akan menjadi underground economy/ shadow economy/ paralel economy.
Tax amnesty atau pengampunan pajak sejatinya adalah suatu bentuk release and discharge atas akumulasi penghasilan yang sudah terlanjur menjadi kekayaan sesuai dengan bunyi rumusan Pasal 4 ayat (1) yang menekankan frasa “untuk menambah kekayaan Wajib Pajak” yang pada substansinya merupakan objek pajak atas “Draw” dalam TAE, yaitu pembagian dividen kepada pemegang saham sebagai objek pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 20%.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan agar tarif Tax Amnesty sesuai dengan tarif pajak Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Constructive Dividend, A constructive dividend is a payment or allowance to a participant or shareholder in a company that is not intended or classified as a distribution to the participant, but which is classified later as a dividend by the Internal Revenue Service (IRS) and thus becomes taxable.
Jakarta, 23 November 2024
Joko Ismuhadi Soewarsono*)
*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.
Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.