Next Post

Restorative Justice Dalam Pidana Perpajakan

Sedang ramai dan viral kasus guru honorer Supriyati yang dituduh menganiaya anak muridnya mengharu biru jagad pemberitaan media massa. Kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan “out of the court” melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Apa itu RJ? Berikut jawaban dari mesin Artificial Intelegence (AI): Restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Pendekatan ini mengedepankan pemulihan dan rekonsiliasi hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal.

Restorative justice bertujuan untuk Memulihkan korban yang menderita akibat kejahatan, Mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat, Memberdayakan korban dan pelaku, Mengurangi tingkat pengulangan kejahatan, Menekan biaya hukum. Dalam restorative justice, semua pihak yang terlibat akan berdialog dan bermediasi untuk mencari solusi yang sesuai. Solusi yang ditemukan dapat berupa permintaan maaf, restitusi, kerja sosial, atau kesepakatan lainnya. Restorative justice bukan berarti menghilangkan sanksi pidana, tetapi lebih menekankan pada upaya pemulihan akibat kejahatan.

Adakah pasal yang mengatur tentang RJ di dalam ketentuan perpajakan?. Sesuai ketentuan Pasal 44B Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan pasal yang mengatur tentang RJ ini, yaitu:

Ayat (1):
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

Ayat (2):
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:

  1. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; 
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
  3. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Ayat (2A):

Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi:

  1. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau 
  2. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa delik pidana di bidang perpajakan dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme Restorative Justice. Namun bagaimana dengan ketentuan Pasal 38, 39 dan 39A UU KUP yang merupakan actus reus dari upaya “out of the court solution” ini?.

Jakarta, 02 November 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.

Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.

 

fiskusma

Related posts