Jakarta, fiskusmagnews -Di tengah protes rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, DPR RI mengusulkan kebijakan kontroversial bernama tax amnesty atau pengampunan pajak. Dua kebijakan yang rencananya akan dilaksanakan pada 2025 ini, diprediksi akan sama-sama menciptakan ‘malapetaka’.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Wahyu Widodo menilai PPN 12% dan tax amnesty merupakan dua perlakuan pajak berbeda yang akan berdampak pada dua kelas ekonomi berbeda di masyarakat. Maka itu, dia tak heran apabila kebijakan yang bertolak belakang ini membuat isu ketidakadilan muncul.
“Sebenarnya ini dua hal yang berbeda, tapi karena sama-sama terkait pajak dan melibatkan dua golongan masyarakat dengan strata pendapatan berbeda, pada akhirnya seolah saling terkait dan menguntungkan satu pihak alias menjadi tidak adil,” kata dia dikutip Rabu, (20/11/2024).
Wahyu memahami tax amnesty merupakan program pengampunan dosa pajak yang dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, kebijakan ini tak boleh sering dilakukan karena akan menjadi preseden buruk bagi sistem perpajakan nasional.
“Kalau pengampunan dilakukan secara berulang, berarti ada sistem yang salah dan tidak kredibel. Karena pembayar pajak yang ngemplang harusnya diadili secara hukum, bukan diampuni secara periodik,” kata dia.
Sementara itu, Wahyu menilai kebijakan kenaikan PPN semata-mata untuk meningkatkan pendapatan pajak dengan rasionalitas perhitungan tertentu. Namun, dia menilai pelaksanaan kebijakan itu tidak tepat, karena masyarakat tengah dihantam pelemahan daya beli.
“Kenaikan ini justru bisa menjadi kontraproduktif, karena memberikan tekanan lebih tinggi pada konsumen, dan sangat mungkin konsumen akan selektif atau berhemat dalam spending,” kata dia.
Dia memprediksi dengan kenaikan PPN menjadi 12%, maka permintaan masyarakat akan menurun dan berdampak luas pada kelesuan perekonomian. Menurut dia, pemerintah harus berhati-hati dengan konsekuensi penerapan kebijakan pajak yang tidak adil ini.
“Masalah ini akan menjadi semakin pelik jika isu ‘ketidakadilan’ di atas tadi dieskalasi dalam skala yang lebih besar,” kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpandangan tax amnesty terbukti tidak efektif untuk menaikan penerimaan pajak negara. Dia menyebut hal itu sudah terbukti dalam pelaksanaan tax amnesty 2016-2017 dan 2022 yang tak mampu menaikan rasio perpajakan di Indonesia.
“Justru pengampunan pajak yang terlalu sering bisa buat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap turun. Pastinya pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali,” kata dia.
Bhima menilai pemerintah dan DPR seolah terlalu memanjakan para pengusaha apabila benar-benar kembali melaksanakan tax amnesty. Padahal, kata dia, perusahaan telah banyak menikmati fasilitas pajak, seperti rencana menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% ke 20% pada 2025. “Saya gagal paham,” kata dia.
Di sisi lain, Bhima mengatakan rencana pelaksanaan tax amnesty juga akan menyinggung rasa keadilan masyarakat yang tengah memprotes rencana kenaikan PPN 12%. Dia menilai kebijakan kenaikan PPN 12% akan langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat karena memperlemah daya beli. Dampak kebijakan ini juga amat luas, karena pelaku usaha akan terpukul dan bisa menyebabkan PHK massal. “Di mana letak keadilan pajaknya?” ujar Bhima.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai kebijakan PPN 12% dan tax amnesty menunjukan ketidakadilan perlakuan pajak dari pemerintah untuk masyarakat. Sebab, di satu sisi orang kaya diampuni dosa pajaknya melalui tax amnesty, sementara rakyat biasa terus dinaikan pajaknya.
“Menurut saya tidak fair,” ujar dia.
Esther mengatakan sudah banyak bukti bahwa kenaikan PPN sebesar 1% akan berdampak luas pada perekonomian. Berdasarkan hasil riset Indef, kata dia, kenaikan PPN berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%. Hal itu disebabkan kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi sehingga memperlemah daya beli.
Dia mengatakan dampak kenaikan PPN sangat luas karena akan menyebabkan berkurangnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat yang tergerus. “Penyerapan tenaga kerja menurun dan pendapatan pun akan menurun yang berakibat menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi serta pada akhirnya pendapatan negara akan menurun,” kata dia.
Reporter: Amanda Valerina
Sumber: CNBC Indonesia