Next Post

PPh Final: Simplifikasi atau Transparansi?

Sedang ramai kasus pemagaran laut di daerah Tangerang, penulis tergelitik untuk menyampaikan “kebaikan DJP” atas pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh yang mengatur bahwa:

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Kebijakan pengenaan pajak penghasilan bersifat final biasanya dengan alasan simplifikasi atau penyederhanaan tata cara pemungutan karena traffic transaksinya sangat cepat misalnya transaksi saham di bursa efek, transaksi valas dan lain sebagainya.

Perlu diingat bahwa pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final punya konsekuensi yaitu:

1. Atas penghasilannya tidak perlu lagi digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam laporan surat pemberitahuan pajak terhutang akhir tahun;

2. Dengan demikian bukti potong pajaknya juga tidak boleh dikreditkan atau dikurangkan dalam menghitung pajak penghasilan akhir tahun;

3. PPh Final tidak bisa dilakukan pemeriksaan karena sudah final dan dianggap benar.

Kita mungkin lupa bahwa ketentuan yang mengatur pajak penghasilan atas bunga deposito diatur secara khusus pada Pasal 4 ayat (1) PP No. 13 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa “Terhadap deposito berjangka, sertifikat deposito dan tabungan termaksud asal-usulnya tidak dilakukan pengusutan perpajakan (fiskal).”

Menurut penulis bahwa: Pertama, sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UUD tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Kedua, Dengan demikian sejatinya pengalihan hak atas tanah saja dilarang di Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa pengalihan hak atas kavling siap bangun (kasiba) harus dilampiri Surat Pernyataan Kesanggupan Membayar Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, namun ketentuan ini diperlonggar setelah terjadi krisis moneter tahun 1998. Yang ketiga, akibat transaksi pengalihan hak atas tanah ini mengakibatkan kenaikan tingkat inflasi yang tinggi. Dalam kalangan para investor property ada istilah “Tuhan Menciptakan Bumi ini Hanya Sekali, Sedangkan Manusia Akan Datang Lagi Bergenerasi-generasi, Nilai Tanah Pasti Akan Naik Lagi”. Dan yang Ke Empat; Adanya peraturan batas maksimal kepemilikan lahan, baik oleh orang pribadi maupun korporasi sehingga korporasi besar akan mencari “kaki tangan” dalam pengadaan lahan dalam satu wilayah besar dengan menggunakan oknum desa ataupun badan hukum, Yayasan misalnya yang seolah-olah tidak ada kaitannya dengan perusahaan atau sebagai pengadaan land bank.

Dengan munculnya kasus “Kavling Laut” telah membuktikan bahwa usaha developer sangat menjanjikan karena sebenarnya bisnis developer itu bisnis “the last resort” bagi pengusaha. Tahapan bisnis itu ada 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Masuki bisnis yang di mengerti dan dikuasai; 2. Cari cara bagaimana mengakumulasi dana masyarakat dengan berbiaya murah atau bahkan gratis dengan cara menggiring salah satu Perusahaan “go public” atau mendirikan perusahaan bank ataupun asuransi yang merupakan dana nganggur masyarakat ataupun dana gratis dengan membuat bisnis “payment gateway” sebagai aplikasi pembayaran belanja; dan yang ketiga; 3. Dari tanah kembali ke tanah yaitu bisnis property atau developer. Bisnis developer property itu menghasilan 4 (empat) sumber Penghasilan, yaitu:

  1. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dengan cara mengalihkan tanah dan atau bangunan secara fisik;
  2. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dengan cara misalnya developer membangun Apartemen. Dengan cara menjual 2/3 nya unit apartemen sudah “Break Event Point” atau Kembali modal, dengan demikian atas Pembangunan apartemen tidak perlu bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena belum ada Margin Laba. Sedangkan 1/3nya unit tidak akan dijual, namun dipertahankan sebagai penghasilan yang berulang (recurring income). Langkah selanjutnya developer mengadakan “Customer Gathering” kepada para pembeli unit apartemen yang akan mengumumkan bahwa Apartemen akan dikelola secara Hotel. Silahkan kepada para pembeli unit untuk bisa dititipkan kepada management. Dengan demikian skema bahwa Pembangunan “hotel” tersebut at cost dibiayai pembeli unit bahkan sudah meminta restitusi PPN secara tidak bertanggung jawab, kalau dari awal secara core business nya jasa perhotelan, seharusnya faktur pajak masukan pembelian besi, semen dan lain sebagainya tidak boleh dikreditkan karena penyerahan jasa hotel bukan objek PPN;
  3. Setelah berlalunya waktu, Nilai Pasar dari unit apartemen yang 1/3nya milik developer tentunya sudah naik tinggi, maka dilakukanlah Revaluasi Aktiva Tetapnya. Developer merasa kurang optimal atas hasil nilai Revaluasi, maka developer juga melakukan skema Debt to Equity Swap, yaitu skema transaksi konversi hutang menjadi saham. Developer sudah mempersiapkan hal ini yaitu atas hasil penjualan 2/3nya unit apartemen dipinjamkan kembali kepada developer. Praktis hampir 100% dana sudah kembali kepada perusahaan. Misalnya dengan skema Revaluasi dan Debt to Equity Swap nilai bersih Perusahaan meningkat drastis menjadi Rp.1 triliun. Atas Rp.1 triliun dicetak kertas yang disebut saham dengan nilai nominal Rp.1.000 per lembar saham. Dengan demikian pemilik Perusahaan akan menguasai 1 (satu) miliar lembar saham. Jika go public bisa dilakukan, pada saat Initial Public Offering (IPO) terjadi kesepakatan penentuan harga per lembar saham dengan Penjamin nya yaitu Rp.10.000 per lembar, maka pemilik berpotensi menjadi Rp.10 triliun. Jadi di tahap ini perusahaan mendapatkan dana murah dari dana “idle” karena rata-rata terbesar pembeli saham itu adalah para Fund Manager yang memutar dana “idle” milik perusahaan asuransi, dana pensiun, BPJS dan lain sebagainya dana menganggur termasuk dana haji?.
  4. Sumber penghasilan keempat yaitu bahwa dari jaringan bisnis property, baik dalam bentuk “content” jasa kesehatan (rumah sakit), jasa pendidikan (university), mall, hotel dan lain sebagainya yang berbasis bisnis property, bisa diminta jasa penilaian tingkat hunian (occupancy) untuk diterbitkan surat berharga namany REITs, Real Estate Investment Trusts.

Mengingat potensi bisnis property yang amat sangat besar ini yang bisa mendorong pebisnis melakukan pelanggaran hukum, penulis mengusulkan agar mekanisme pengenaan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan pengembang (developer) dikembalikan ke mekanisme lama sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh yang tidak bersifat final agar mendorong transparansi dari asal-usul tanah yang dikembangkan dan dikelola.(jis)

Jakarta, 28 Januari 2025

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*)penulis merupakan seorang akademisi anggota utama Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (Pertapsi), Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (Perkahi), praktisi pemeriksa pajak berpengalaman dengan latar belakang pendidikan program diploma keuangan spesialisasi perpajakan dengan pendidikan terakhir sebagai kandidat doktor bidang akuntansi perpajakan dan doktor bidang hukum perpajakan.

Disclaimer: pendapat diatas merupakan pendapat pribadi penulis terlepas dari institusi penulis bekerja.

 

 
 

fiskusma

Related posts