SIARAN PERS
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Empat Alasan Pokok Pengajuan Judicial Review atas UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) oleh BPK RI
Jakarta, Selasa (5 Februari 2008) – Hari ini, Prof. Dr. Anwar Nasution selaku Ketua BPK-RI telah secara resmi mengajukan uji materil (judicial review) di depan Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi atas UU tentang KUP. Ketua BPK RI mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat membuat keputusan yang mengatakan: “Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa penerimaan negara yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak dan mulai berlaku sejak tanggal keputusan ini”.
Ketua BPK-RI menyampaikan empat alasan pokok pengajuan Judicial Review dimaksud. Pertama, UU KUP mencederai UUD 1945 serta UU terkait lainnya. Kedua, dengan BPK memeriksa penerimaan pajak BPK dapat memeriksa kinerja administrasi pajak sehingga dapat pula mendorong perbaikannya guna meningkatkan penerimaan negara. Ketiga, pemeriksaan pajak yang transparan oleh BPK akan dapat meningkatkan peringkat Surat Utang Negara (SUN). Keempat, pemeriksaan pajak akan memungkinkanBPK memberikan opini terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) (jadi tidak “disclaimer”) agar dapat menghindari jatuhnya kredibilitas Pemerintah sehingga dapat memelihara stabilitas politik nasional.
Pasal 34 ayat 2A huruf B UU KUP menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan pemeriksaan keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan itu secara jelas telah melecehkan kewenangan konstitusional BPK-RI yang diberikan oleh UUD 1945, Ayat (1) Pasal 23E yang menyatakan BPK didirikan sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri untuk memeriksa segenap penerimaan serta penggunaan keuangan negara. UU KUP juga bertolak belakang dengan ketiga Paket UU Keuangan Negara serta UU tentang BPK.
Pasal UU KUP tersebut yang seolah-olah melindungi kerahasiaan wajib pajak adalah tidak pada tempatnya, karena BPK tidak akan memeriksa pembukuan wajib pajak serta mengoreksi maupun menetapkan kewajiban pajaknya, karena tidak berwenang untuk itu. Sesuai dengan Pasal 14, UU No. 15 Tahun 2004, yang akan dilaporkan oleh audit BPK kepada penegak hukum adalah petugas pajak yang nakal!
Alasan kedua kenapa BPK perlu memeriksa penerimaan pajak adalah untuk dapat memeriksa kinerja administrasi pajak dan ikut mendorong perbaikannya guna meningkatkan pemerimaan negara. Sistem pelaporan perhitungan pajak yang kita gunakan dewasa ini adalah sistem menghitung pajak sendiri secara sukarela (self- assessment). Jika tidak ada pemeriksaan eksternal oleh BPK, sistem self-assessment itu hanya merupakan lisensi untuk melakukan kejahatan penggelapan pajak, baik oleh pembayar pajak maupun oleh petugas pajak.
Alasan ketiga kenapa BPK RI perlu memeriksa penerimaan negara dari pajak adalah untuk meningkatkan peringkat Surat Utang Negara (SUN) di pasar domestik dan internasional sehingga meningkatkan kupon atas tingkat suku bunganya. Peringkat (rating) pada SUN akan rendah jika informasi tentang penerimaan pajak hampir tidak ada dan penerimaan pajak tetap rendah. Rendahnya peringkat SUN itu terjadi karena keraguan pemodal akan kemampuan Pemerintah untuk melunasi kembali hutangnya.
Alasan keempat, pemeriksaan pajak oleh BPK akan dapat mencegah berbagai implikasi keguncangan politik yang tidak perlu. Ada dua bentuk implikasi politik penolakan Ditjen Pajak atas pemeriksaan BPK sebagaimana dimuat dalam UU No. 28 Tahun 2007 itu. Pertama, BPK akan menggunakan Bab VI, Pasal 24, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara untuk mengadukan Ditjen Pajak kepada penegak hukum. Angka (1) bab tesebut mengatur hukuman pidana bagi: “setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajibannya menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan tanggung jawab keuangan negara … “. Ayat (2) dalam Pasal yang sarna mengatur hukuman pidana bagi “setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan” BPK. Ayat (3) mengatur hukuman pidana bagi: “setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK … “. Konflik terbuka antar instansi Pemerintah dengan Lembaga Negara seperti itu akan menimbulkan ketidak-pastian, memakan enerji dan biaya yang tidak perlu.
Implikasi politik yang kedua adalah kemungkinan hilangnya kepercayaan Rakyat kepada kepemimpinan Pemerintah yang dipilihnya sendiri secara langsung. Selama tiga tahun berturut-turut, LKPP tahun anggaran 2004 sampai 2006, selalu mendapatkan opini disclaimer dari BPK. Salah satu penyebabnya adalah bersumber dari tidak adanya transparansi serta akuntabilitas penerimaan negara dari pajak. Sebagaimana telah disebut di atas, BPK tidak akan mungkin memberikan opini atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, apabila akses BPK tetap dibatasi pada informasi tentang perpajakan, maka LKPP untuk tahuntahun berikutnya akan tetap disclaimer. Dalam sistem politik yang demokratis seperti sekarang ini, hal seperti ini akan dapat menimbulkan kegoncangan politik yang tidak diharapkan yang bersumber dari erosi kredibilitas Pemerintah di mata Rakyatnya.
BIRO HUMAS DAN LUAR NEGERI BPK-RI