Next Post

Ekonom Sebut Rencana Penurunan Tarif PPh Badan Dibarengi Dengan Kenaikan Tarif PPN Bisa Memperuncing Ketimpangan Pajak

Jakarta – fiskusmagnews.com:

Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan tapi di sisi lain akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), dinilai dapat memperuncing ketimpangan kebijakan pajak. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan PPh Badan akan menguntungkan bagi perusahaan atau badan usaha sedangkan kenaikan PPN akan membebani masyarakat. “PPh Badan yang turun tapi PPN naik memperuncing ketimpangan kebijakan pajak. Ini seolah beban kelas menengah makin berat karena pajak,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (11/10/2024). Sementara, menurutnya, pihak yang seharusnya dibantu saat ini bukan lah perusahaan melainkan masyarakat kelas menengah.

Oleh karenanya daripada menurunkan PPh Badan, dia menyarankan pemerintah untuk menurunkan tarif PPN yang saat ini sebesar 11 persen.

“Toh selama ini banyak perusahaan misalnya di sektor hilirisasi menikmati bonus insentif pajak  tax holiday dan tax allowance,” ucapnya. Kemudian, penurunan tarif PPh Badan yang saat ini sebesar 22 persen menjadi 20 persen juga tidak bisa signifikan mengerek daya beli masyarakat yang tengah lesu maupun membuka lapangan kerja baru. Berbeda dengan penurunan PPN yang dapat memberikan efek ganda ke perekonomian khususnya konsumsi rumah tangga. Terlebih jika tarif PPN bisa turun menjadi 8-9 persen. “Efek penurunan tarif PPh Badan tidak akan banyak mempengaruhi daya beli dan lapangan kerja dibanding penurunan tarif PPN,” kata Bhima.

Meskipun saat ini kedua rencana tersebut masih belum ada kepastian kapan akan diterapkan, namun Bhima bilang, sebaiknya penurunan tarif PPh Badan tidak diterapkan bersamaan dengan kenaikan tarif PPN. Pasalnya, hal ini dapat membuat ekonomi tetap melambat karena kenaikan PPN tetap akan langsung membebani seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, jika pemerintah tetap ingin menurunkan tarif PPh Badan, sebaiknya dilakukan berbarengan dengan penurunan tarif PPN. “PPh kan sifatnya progresif sementara PPN bersifat regresif yang berarti semua kelompok masyarakat mau kaya atau miskin bayar PPN ketika membeli barang,” tuturnya.

Sebagai informasi, tarif PPh badan 20 persen sudah tercantum di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk PT. Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang berlaku sejak 19 Juni 2020. Namun, pemerintah batal menurunkan tarif PPh badan menjadi 20 persen pada 2022. Melalui pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPh Badan tahun itu hingga kini tetap 22 persen. Sementara kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen telah diatur dalam Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP yang berbunyi, tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.*)

Pada kesempatan yang terpisah, awak media fiskusnews grup mengkonfirmasi kepada Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono, S.E., M.M., seorang praktisi pajak yang juga merupakan seorang dosen pengampu mata kuliah perpajakan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi International Golden Institute (STIE IGI) yang berlokasi di bilangan Slipi Jakarta Barat ini, “apakah penurunan tarif pajak penghasilan badan dari 22 persen menjadi 20 persen, sedangkan disisi lain pemerintah juga akan menaikkan pajak pertambahan nilai dari 10 persen menjadi 11 persen yang pada gilirannya akan naik menjadi 12 persen justru tidak menguntungkan kebijakan ini untuk masyarakat kebanyakan”?.

Jawaban pertanyaan saudara sesuai dengan materi kuliah kali ini bahwa pajak itu mempunyai tujuan sebagai instrumen budgetair, yaitu instrumen atau alat yang digunakan untuk mencari pendanaan pemerintah guna membiayai kegiatan pemerintahan, baik untuk biaya belanja rutin maupun pembangunan. Yang kedua pajak sebagai instrumen atau alat pengaturan kebijakan atau regulansi untuk tujuan-tujuan yang lebih luas dalam bidang ekonomi. Oleh karenanya dalam kuliah saya tadi saya sampaikan kepada para mahasiswa, baik program sarjana manajemen ataupun program pasca sarjana magister manajemen agar mencermati Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dari segi struktur atau komposisi penerimaan jenis pajaknya untuk dilakukan bahan kajian riset untuk membuat skripsi atau thesis. Misalnya kenapa ini koq pajak pertambahan nilai yang meningkat dan lain sebagainya. Pada kesempatan kuliah perdana tadi juga saya sampaikan jenis-jenis pajak, baik pajak pusat maupun daerah, pajak langsung ataupun pajak tidak langsung.

Kita kembali ke pertanyaan saudara, kita ketahui bahwa pajak penghasilan badan itu adalah objeknya atas pajak penghasilan yaitu pajak langsung yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari penghasilan neto komersial dilakukan koreksi-koreksi penyesuaian secara fiskal untuk dikenakan pajak penghasilan dengan tarif tunggal yaitu 22 persen untuk yang belum go public atas subjek pajak wajib pajak badan atau korporasi. Jenis pajaknya pajak langsung dari yang mampu artinya dari suatu badan usaha yang mempunyai selisih lebih  atau laba dari pendapatan setelah diperhitungkan biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagai biaya atau beban yang memiliki hubungan dengan memperoleh, mendapatkan dan mempertahankan pendapatan itu yang kita kenal dengan tiga M. Pengenaan pajak ini untuk yang mampu saja, artinya lebih adil yang punya kemampuan lebih untuk memikul beban negara melalui pajak. Sedangkan pajak pertambahan nilai itu dikenakan atas nilai tambah (value added) dari produksi barang atau jasa. Jadi jenis pajak ini akan ditambahkan di harga jual oleh produsen yang pada gilirannya akan menjadi beban terakhir konsumen. Pajak pertambahan nilai ini melekat pada barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat baik masyarakat berpunya atau tidak, kaya atau miskin kalau mau konsumsi barang atau jasa harus bayar juga pajaknya, jadi keadilannya tidak terjadi disini, hanya fungsi budgetair yang dominan disini. Padahal sejatinya sistem pajak itu diciptakan untuk melakukan redistribusi pendapatan dari yang berpunya atau kaya kepada yang tidak berpunya atau miskin, redistribusi pendapatan dari rana privat ke rana publik. Inilah tugas pemerintah melakukan pemerataan pendapatan yang pada gilirannya mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Menurut Bapak, apakah tujuan pajak sudah tercapai?. “Menurut saya sih belum ya, justru wajib pajak yang paling patuh adalah kita-kita ini wajib pajak orang pribadi, karena butuh makan butuh uang untuk hidup, kita merelakan uang kita dipotong oleh bendahara atau pemberi kerja yang disebut PPh Pasal 21 itu tidak pernah kita lihat uangnya, di akhir tahun baru dikasih bukti potong nya untuk dilaporkan di SPT Tahunan.

Jadi masih sangat besar potensi pajak yang bisa digalih, ini seperti fenomena gunung es yang muncul ke permukaan air hanya sepertiganya, duapertiga ada dibawah gunung es itu. Bagaimana cara menggalihnya, baca saja buku saya tentang Tax Accounting Equation (TAE) yang menyimpulkan dari rumus matematika akuntansi tersebut membuktikan bahwa pendapatan (revenue) itu punya hubungan terbalik (the opposite relationship) dengan hutang (liability) wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan hukum. Jadi dalam TAE itu kesimpulannya wajib pajak menghindari pajak atau bahkan kalau boleh dikatakan menggelapkan pajak dengan membuat narasi baru bahwa uang yang diterima itu adalah pencairan hutang (bukan objek pajak), uang nya bukan dari penjualan (objek pajak).

Semoga dengan dibentuknya badan baru ataupun kementerian baru di bidang penerimaan negara, tujuan pajak seperti yang saya sebutkan diatas bisa tercapai”, pungkasnya dengan ramah.

*)Sumber: kompas.com

Reporter: Amanda Valerina

 

 

fiskusma

Related posts