Jakarta-fiskusmagnews.com:
Mahlan, yaa Ramadan.. Wada, yaa Ramadan.. Selamat jalan, wahai Ramadan.. Selamat berpisah, Ramadan..
Dalam kata mahlan, ada makna selamat jalan dan permintaan agar kepergian itu jangan cepat-cepat, jangan terburu-buru, atau pergi tapi pelan-pelan. Maka, makna kata Mahlan itu adalah; Selamat jalan, tapi jangan terburu-buru. Pergilah – karena kita tak kuasa menahanmu -, tapi pergilah dengan pelan. Pergilah, tapi jangan cepat-cepat. Pergilah, tapi jangan buru-buru.
Mahlan, yaa Ramadan. Selamat jalan, Ramadan. Pergilah perlahan dan jangan abaikan kesedihan kami ini. Wada, yaa Ramadan. Selamat berpisah Ramadan.
Ungkapan-ungkapan itu mungkin bukan ungkapan yang umum – setidaknya kurang populer – ditemui di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung lebih menyiapkan diri dengan situasi bulan Syawal dengan suasana suka cita. Bulan Syawal diidentikkan dengan makan-makan, jalan-jalan, dan kemeriahan lainnya. Karena situasi sosial kita di Indonesia dalam suasana gembira, maka ungkapan kesedihan di penghujung Ramadan itu kurang mendapat tempat secara sosiologis.
Tetapi, di belahan dunia yang lain, kesedihan ditinggal Ramadan itu demikian kuat. Ungkapan-ungkapan kesedihan itu diungkap jelas oleh masyarakat itu. Pilihan kata semacam mahlan dan wada ini memperjelas suasana batin mereka ketika ditinggal Ramadan. Tak heran, setelah sholat idul fitri, tak tampak kemeriahan seperti di Indonesia.
Tampaknya, kita di Indonesia lebih cepat beradaptasi. Kesedihan ditinggal Ramadan segera bisa diganti dengan kegembiraan menyambut ‘bulan kemenangan’. Semarak Ramadan segera disusul keseruan lebaran. Tampaknya, kita lebih adaptif menjalani pergantian bulan itu.
‘Dulu, taraweh terakhir di sana itu kek jadi agenda utama, bi. Kek kudu taraweh gitu, bi. Dibela-belain gitu, bi..’, kata sinduk menunjukkan ekspresi kesungguhan dan kesedihan ditinggal Ramadan di Mesir. Qunut taraweh terakhir itu biasanya ditambah doa doa: “Jangan haramkan kami dari puasa sunnah setelah Ramadhan, jangan haramkan kami dari shalat jamaah setelah Ramadhan, dan jangan haramkan kami dengan tilawah Qur’an setelah Ramadhan”.
Sesuatu yang agak lain, jamak terjadi di sini.
Setiap bangsa pasti punya cerita. Setiap orang punya sudut pandang. Justru karena itu, sesekali perlu juga, kita melihat peristiwa dari sudut pandang orang dan bangsa lain.
Mahlan, yaa Ramadan. Pergilah.. Kami tak kuasa menahanmu. Pergilah dengan perlahan.. Jangan terburu-buru meninggalkan kami ini..
Mahlan, yaa Ramadan..
Bantul, 9 April 2024.
Reporter: Amanda Valerina