Next Post

Entitas Virtual Dalam Industri Rokok

Jakarta-fiskusmagnews.com:

Dalam mengerti fenomena hukum yang terjadi, dapat dijelaskan dengan prinsip das sollen dan das seinDas sollen adalah sebuah kaidah yang mengharuskan seseorang untuk berpikir sesuai dengan norma ataupun aturan yang diberlakukan atau memiliki dasar hukum yang konkret yang telah tertulis dan disahkan oleh pembuat undang-undang beserta lembaga eksekutif. Das sollen dalam isu hukum kali ini adanya peraturan terkait larangan untuk melakukan tindak pidana pencucian uang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan juga tindak pidana di bidang perpajakan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Potongan narasi slide ppt saya pada acara sidang terbuka promosi doktor hukum Universitas Borobudur yang saya paparkan pada pagi hari pukul 08:30 WIB dalam rangka mempertahankan disertasi saya yang saya beri judul:”Penanganan Manipulasi Perpajakan oleh Korporasi pada Tindak Pidana Pajak dengan Perbuatan Pencucian Uang”.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini seperti sebuah ke-kepo-an, bahasa anak gaul sekarang ini, atas banyak bermunculan suatu komunitas perdagangan eceran, ritel kanvasing penjualan rokok. Fenomena dimaksud disini bermunculan suatu “virtual entity” begitu penulis kasih nama, yaitu suatu virtual entity, bukan legal entity dalam komunitas perdagangan eceran rokok pada tingkat eceran dari warung-warung gerobak pinggir jalan dan warung-warung “pracangan”.

Kita sudah sangat maklum dan tahu ada suatu komunitas dengan nama GGSP ditulis di spanduk toko-toko atau warung-warung kecil pinggir jalan yang berasal dari singkatan Gudang Garam Strategic Partnership. Ada lagi yang menamakan dirinya DRP yaitu kependekan dari Djarum Retail Partnership, ada lagi SRC atau kependekan dari Sampoerna Retail Community. Ya betul itu adalah community dari para pedagang eceran level paling bawah untuk sampai kepada end user para penikmat nikotin.

Seperti dalam potongan slide ppt saya diatas, dalam mengerti adanya fenomena tersebut kita harus tahu apa itu das sein dan das sollenDas sein disini adalah adanya fenomena pendirian virtual entity pengecer rokok, das sollen nya adalah bahwa dalam suatu actus reus (perbuatan) harus ada mens rea (pelaku) nya dalam hal ini virtual entity.

Kita semua maklum setiap kali membeli rokok eceran, satu pack, dua pack atau bahkan eceran per batangan, kita tidak membutuhkan bukti pembelian, kwitansi, invoice ataupun faktur pajak. Karena memang tidak ada bukti pembeliannya, dengan demikian penjual nya tidak membuat bukti per pembeli di tingkat end user penikmat nikotin, maka dibentuklah suatu virtual entity sebagai bridging antara main distributor yang terbagi atas DC-DC, distribution center, dengan para penjual eceran di tingkat warung-warung pinggir jalan. Pertanyaannya, apakah virtual entity ini bisa dimintakan pertanggung jawaban nya secara hukum atas actus reus nya, atas suatu perbuatannya yaitu menjual rokok?. Jawabannya tentu tidak, karena virtual entity bukanlah legal entity yang memiliki legal standing dalam melakukan perbuatan hukum.

Main distributor adalah perusahaan pengecer penjual rokok kepada para warung-warung pinggir jalan sebagai perpanjangan tangan pabrikan rokok. Dalam tulisan diatas pembeli rokok tidak butuh bukti, dengan demikian perusahaan distributor akan tergoda juga untuk tidak melaporkan penjualan sesungguhnya kepada pembeli eceran yang menggunakan uang tunai, cash intensive. Saya bisa membayangkan setiap hari begitu banyak “dirty money” dalam arti yang sesungguhnya yang teronggok diatas meja perusahaan distributor. Lantas, how disappear this money immediately? Sangat mudah, ya kubur saja dalam lubang dalam-dalam, ini bahasa sanepan, sanepoan, sindiran. Buat saja suatu skema transaksi hutang yang dibayar, dilunasi dengan “dirty money” tadi, karena uang nya memang betul-betul kotor sebagai perantara pembawa kuman, dari jual eceran rokok.

Kalau transaksi ini di lakukan test dengan Business Purpose Test bisa dipastikan tidak lulus, lah wong rokok itu yang dijual itu rasanya, berarti turn over, perputaran dari uang menjadi barang, jadi rokok, menjadi uang kembali melewati suatu siklus yang sangat cepat, artinya Business Purpose Test tidak lulus karena tidak punya urgensi perusahan rokok (PR) ini menciptakan skema transaksi hutang ini, maka atas transaksi hutang ini mesti di adjustment yang berarti biaya bunga yang timbul atas hutang ini harus dikoreksi.

Karena Business Purpose Test tidak lulus maka kita juga layak pertanyakan status skema transaksi hutang nya itu. Setelah dicermati sesuai dengan Rumus Matematika Akuntansi, karangan Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono, Tax Accounting Equation (TAE): Revenues = Expenses + Assets – Liabilities, terlihat jelas bahwa Revenues memiliki hubungan terbalikthe opposite relationship, dengan Liabilities yang berarti skema transakti itu memang diciptakan untuk melakukan reklasifikasi, membalik jurnal catatan akuntansinya, penerimaan uang hasil penjualan sebagai objek pajak menjadi bentuk baru, karakter baru, menjadi uang hasil pencairan hutang yang bukan objek pajak.

Oleh karena itu atas skema transaksi ini bisa dibatalkan oleh otoritas pajak, dan atas skema transaksi ini memiliki tujuan yang tidak baik yaitu menghindari pajak atau bahkan boleh dikatakan menggelapkan pajak?. Hanya otoritas pajak lah yang punya kewenangan untuk membuktikan atas skema “back to back loan, day to day operation yang telah masif di praktekkan oleh pabrikan rokok sebagai bentuk transaction scheme tax avoidance and/or tax evasion. Apa buktinya? Bukti empirisnya adalah terjadi fenomena banyaknya PR kecil di daerah sentra perajin rokok Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sebenarnya kalau ditelisik tidak ada kegiatan yang signifikan, lantas kita mencurigai perusahaan ini didirikan agar bisa di daftarkan ke bea cukai untuk memiliki hak tebus pita cukai, lantas kemana pita cukai nya? Nah ini isu nya terjadi jual beli pita cukai sehingga ada kemungkinan ada rokok yang dikenal masyarakat, pemimpin pasar, menggunakan pita cukai yang bukan miliknya, lihat saja pita cukai untuk perusahaan rokok besar tidak ada nama atau kode pita cukai diterbitkan untuk PR mana, namun untuk PR kecil kelas UMKM ditandai ini pita cukai milik siapa.

Back to back loan ditingkat day to day operation kembali terulang dalam tingkat bukan day to day operation, yaitu ditingkat kegiatan investasi, uang hasil dari tax avoidance and/or tax evasion yang telah disimpan di bank yang telah di soaping, di layering digunakan lagi menjadi agunan membuka kredit investasi dengan personal guarantee atau corporate guarantee dalam bentuk promissory note atau dalam bentuk surat berharga lainnya, time deposit misalnya. Siklus ini terus berulang seperti ini dari placement, layering dan integrating. Pertanyaannya kapan akan berhenti? Jawabannya manakalah otoritas mampu mendetekti adanya suatu skema back to back loan yang dapat merugikan pendapatan negara dalam sektor pajak dan/atau sektor cukai.

Otoritas memang tidak bisa mengatur mens rea harus melakukan actus reus apa? Namun otoritas punya instrument regulasi, das sollen untuk menangani das sein yang terjadi. Hidup adalah pilihan, tentukan masa depan anda sendiri. Selamat Menentukan Masa Depan Negeri Tercinta Indonesia, Pilihan Di Tangan Anda, Selamat Memilih, Selamat Mencoblos!.

Jakarta, 14 Februari 2024

Joko Ismuhadi Soewarsono*)

*) Penulis adalah seorang doctor dalam bidang ilmu hukum perpajakan dan doctor candidate dalam ilmu akuntansi pajak.

fiskusma

Related posts