Kehilangan Figur Ayah
Eko Novianto
Dahulu, para pejuang meninggalkan anak-anak mereka mencari mati. Kadang, mereka memang mati. Sebagiannya bahkan tak dikenali di mana kuburnya. Tapi anak-anak mereka itu tak kehilangan figur ayahnya.
Kini, kita pergi pagi mencari makan, pulang malam setelah makan-makan. Kini, kita pergi untuk bincang-bincang, diskusi-diskusi, sambil haha-hihi dan cekrak-cekrek menitipkan kehebatan diri di dunia maya. Lalu dengan gagah meneriakkan anaknya (terancam) kehilangan figur ayah.
Ah!
Dulu, para ulama menitipkan anak-anaknya untuk belajar pada ulama lain. Jauh melintasi negeri. Menahan rindu menahan segenap rasa lainnya. Tetapi, anak-anak mereka menyimpan kuat sosok sang ayah di relung jiwanya.
Kini, kita pergi dengan segenap kebodohan kita. Kini, kita pergi dengan kepintaran yang tak seberapa, tetapi suka menyebut anak-anak telah kehilangan figur ayahnya.
Dahulu, para pahlawan terpisahkan dari anak-anaknya. Tak tersambung tak terhubung. Tetapi anak-anak mereka mewarnai darah mereka dengan darah kepahlawanan sang ayah. Bahkan, sampai di suatu masa kala sang pahlawan telah lama mendahulu.
Kini, cuma ditinggal kerja bakti tak seberapa, cuma tak bisa makan-makan di akhir pekan, atau cuma tak bisa berfoto-foto atau nge-game di mall bersama saja, lisan kita lancar sekali bilang anak-anak (terancam) kehilangan figur ayahnya.
Kini,..
Ah!
Padahal mungkin sebenarnya, anak-anak kita itu telah kehilangan figur ayahnya meski ayahnya ada sangat dekat dengan mereka!
Yang mereka lihat, ayahnya telah hilang ditelan perintah-perintah ibunya. Atau telah hilang disuruh-suruh lingkungannya. Atau telah lama hilang diharus-haruskan komunitasnya. Mungkin juga, telah hilang diperintah-perintah trend sesaat. Atau hilang didikte-dikte musim, atau dibimbing prestise, ikut-ikutan kawan-kawannya, dan hilang karena dituntun-tuntun nafsu-nafsunya.
Anak-anak itu, bahkan telah kehilangan figur ayahnya sejak ayahnya ada di sisinya!
Ayah anak-anak itu hilang bukan karena aktivitas sang ayah, bukan karena pekerjaan si bapak, bukan karena tugas-tugas bapaknya, bukan tersebab penempatan, bukan karena mutasi kantor, dan bukan karena SK atau ST. Ayah anak-anak itu hilang karena diri sang ayah memang telah hilang sejak awalnya.
Ada pertanyaan yang berulang di beberapa forum; apa yang membuat seorang ayah memiliki hubungan kuat dengan anak?. Dan selalu saya menjawab dengan jawaban; gagasan.
Laki-laki itu ada karena gagasannya.
Para pahlawan tak sering pulang, bahkan mati berkalang tanah tak dikenal entah di mana, tetapi anak-anak mereka terus mewarisi perlawanan bapaknya, bahkan ketika bapaknya sudah tak ada. Karena gagasan itu tersambung. Para ulama belajar dan/atau mengirim anaknya belajar menyeberangi negeri, jarang bersua dan berjumpa. Tetapi, anaknya terus mengalirkan ilmu penuh antusiasme seperti para bapaknya. Karena gagasan.
Lalu mengapa seorang laki-laki kerap merasa anaknya kehilangan figur ayahnya?. Padahal ia kerap berkumpul dan tak berjarak banyak dengan anaknya. Mengapa?. Jawaban pendeknya; karena ayah tak cukup punya gagasan. Yang ada, laki-laki dengan ide jalan-jalan, makan-makan, dan seseruan. Yang sering ada, laki-laki yang sepi dari narasi dan minim gagasan. Yang banyak, laki-laki yang tak mampu membicarakan langit dan sering terjebak bumi.
Kalau sudah itu, jangan terlalu berharap bisa bicara soal kerekatan laki-laki dengan anak-anaknya.
Laki-laki tak bisa membangun kerekatan dengan anaknya dengan cara perempuan menjalin kerapatan dengan anak-anaknya. Harus dengan cara laki-laki!. Yaitu dengan gagasan.
Laki-laki itu gagasan!.
Bantul, 26 Juli 2023.
Keterangan:
1. Pernah ditulis di Jakarta tanggal 25 Februari 2018.
2. Telah menjadi bagian dari buku LDR & Islam terbitan Gaza Library 2019.
3. Mungkin – dengan berbagai variasi – akan terus diulang-ulang lagi.
Reporter: Amanda Valerina